HUKUM
HUKUM
PERTEMUAN
1
Nama : Aini zulfah
NPM : 20217369
Kelas : 2EB17
BAB
1
1.1 Pengertian
Hukum
Pengertian Hukum
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang
dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban,
keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.
Menurut KBBI
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum merupakan :
a.
Peraturan
atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh
penguasa,pemerintah atau otoritas.
b.
Undang-undang,
peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
c.
Patokan
(kaidah, ketentuan).
d.
Keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh
hakim dalam pengadilan, vonis.
Menurut
para ahli
Pengertian
hukum menurut para ahli ialah sebagai berikut :
·
Achmad Ali : hukum adalah norma yang mengatur mana yang benar dan
mana yang salah, yang eksistensi atau pembuatannya dilakukan oleh pemerintah,
baik itu secara tertulis ataupun tidak tertulis, dan memiliki ancaman hukuman
bila terjadi pelanggaran terhadap norma tersebut.
·
Plato :
hukum merupakan sebuah peraturan yang teratur dan tersusun dengan baik serta
juga mengikat terhadap masyarakat maupun pemerintah.
·
Tullius Cicerco : hukum merupakan sebuah hasil
pemikiran atau akal yang tertinggi yang mengatur mengenai mana yang baik dan
mana yang tidak.
·
Utrecht :
hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat
dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah.
·
Prof. Dr. Van Kan : hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang
bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam Masyarakat.
1.2 Tujuan hukum
dan sumber-sumber hukum
Tujuan hukum
Tujuan hukum mempunyai
sifat universal seperti : ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan,
dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka
tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, selain itu Hukum bertujuan untuk
menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya
sendiri.
Sumber Hukum
Sumber Hukum
Segala sesuatu yang
menghasilkan atau melahirkan hukum, atau bisa disebut juga tempat asal mulanya
suatu hukum atau tempat dimana kita bisa menemukan hukum.
Pada dasarnya, sumber hukum terbagi dua, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materil.
Pada dasarnya, sumber hukum terbagi dua, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materil.
a.
Sumber hukum formal
adalah sumber-sumber hukum yang memiliki bentuk-bentuk tersendiri yang secara
yuridis telah berlaku dan diketahui oleh umum. Adapun sumber hukum formal
adalah
1.
Undang-undang, yaitu
suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga negara yang sah yang
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
2.
Kebiasaan/adat-istiadat, yaitu perbuatan manusia yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang
enimbulkan keyakinan dan kewajiban hukum bagi masyarakatnya.
3.
Tratkat, yaitu
perjanjian-perjanjian yang dibuat antarnegara. Baik itu perjanjian bilateral
maupun multilateral sehingga dengan adanya perjanjian itu,maka menimbulkan
kewajiban bagi pihak-pihak yang ada di dalalmnya sehingga tratkat menjadi
sumber hukum.
4.
Yurisprdensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim yang dijadikan dasar untuk melakukan pengambilan
keputusan oleh hakim-hakim berikutnya.
5.
Doktrin, adalah
pendapat-pendapat dari para sarjana hukum dan orang-orang yang dianggap ahli
dibidang hukum.
b.
Sumber hukum materil
ialah sumber-sumber yang melahirkan isi suatu hukum sendiri, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Biasanya yang menjadi sumber hukum
materil adalah gejala yang berada dalam kehidupan masyarakat , baik yang telah
menjadi peristiwa maupun yang belum menjadi peristiwa.
1.3 Kodifikasi Hukum
pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam
kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
1. Unsur-unsu dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
2.
Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk
memperoleh:
a.
Kepastian hukum
b.
Penyederhanaan hukum
c.
Kesatuan hukum
Aliran-aliran (praktek) hukum
setelah adanya kodifikasi hukum
1. Aliran Legisme, yang
berpendapat bahwa hukum adalah undang-undang dan diluar undang-undang tidak ada
hukum.
2. Aliran Freie Rechslehre, yang
berpenapat bahwa hukum terdapat di dalam masyarakat.
3. Aliran Rechsvinding adalah
aliran diantara aliran Legisme dan aliran Freie Rechtslehre. Aliran
Rechtsvinding berpendapat bahwa hukum terdapat dalam undang-undang yang
diselaraskan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat.
1.4 Norma atau
kaidah
Norma atau kaidah
adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana seharusnya kita berbuat,
bertingkah laku, tidak berbuat, dan tidak bertingkah laku didalam masyarakat.
Norma atau kaidah tersebut berisi perintah atau larangan setiap orang hendaknya
menaati norma atau kaidah itu agar kehidupan dapat tenteram dan damai.
kaidah merupakan
perumusan suatu pandangan mengenai perikelakuan atau sikap tindak dalam hidup,
misalnya siapa yang meminjam sesuatu harus mengembalikannya, kaidah juga datang dari diri manusia itu
sendiri, yaitu meliputi pikiran dan perasaan sendiri.
1.5 Pengertian Ekonomi dan Hukum
Ekonomi
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam
memilih dan menciptakan kemakmuran. Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab
akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan
yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Hukum ekonomi terbagi menjadi 2, yaitu:
a) Hukum ekonomi pembangunan, yaitu seluruh peraturan dan
pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan
ekonomi (misal hukum perusahaan dan hukum penanaman modal)
b) Hukum ekonomi sosial, yaitu seluruh peraturan dan pemikiran
hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi secara adil dan
merata, sesuai dengan hak asasi manusia (misal, hukum perburuhan dan hukum
perumahan).
BAB
2
1.1 SUBJEK HUKUM
Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang
dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Subjek hukum
terdiri dari Orang dan Badan Hukum. Subjek hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
:
1. Subjek
Hukum Manusia (orang) adalah
setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan
kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir
hingga meninggal dunia. Selain itu juga ada manusia yang tidak dapat dikatakan
sebagai subjek hukum. Seperti :
a. Anak yang masih dibawah umur, belum
dewasa, dan belum menikah.
b. Orang yang berada dalam pengampunan
yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
Menurut
Kitab UU Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan
tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, dan orang
boros.
3. Orang perempuan dalam pernikahan
(wanita kawin)
2. Subjek Hukum Badan
Usaha adalah sustu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan
mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan usaha mempunyai
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :
1.
Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan
anggotanya
2.
Hak
dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan
hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Badan
hukum publik, seperti negara, propinsi, dan kabupaten.
b.
Badan
hukum perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi
1.2 OBJEK HUKUM
Objek
hukum adalah
segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam
suatu hubungan hukum. Objek hukum dapat berupa benda atau barang ataupun hak
yang dapat dimiliki serta bernilai ekonomis.
Jenis objek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni:
Jenis objek hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni:
1. Benda Bergerak, adalah suatu benda yang sifatnya
dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda
berubah / berwujud.
2.
Benda Tidak Bergerak, adalah suatu benda yang dirasakan
oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan
menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan
musik/lagu.
1.3
Hak Kebendaan yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak
jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan
kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika
debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian). Perjanjian
hutang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat
dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni
dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan
bentuk dan kualitas yang sama.
Macam-macam Pelunasan Hutang Dalam pelunasan hutang adalah
terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum dan jaminan yang
bersifat khusus :
1.
Jaminan Umum, Persyaratan pelunasan jaminan umum antara lain:
a.
Benda
tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
b.
Benda
tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain
2.
Jaminan Khusus, Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada
jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik,dll.
a.
Gadai
Dalam pasal 1150 KUH perdata disebutkan bahwa gadai adalah
hak yang diperoleh kreditur atassuatu barang bergerak yang diberikan kepadanya
oleh debitur atau orang lain atas namanyauntuk menjamin suatu hutang, Sifat-sifat Gadai yakni:
·
Gadai
adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
·
Gadai
bersifat accesoir
b.
Hipotik
Hipotik berdasarkan pasal 1162 KUH
perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk
mengambil pengantian dari padanya bagi pelunasan suatu
perhutangan(verbintenis). Sifat-sifat hipotik yakni:
·
Bersifat
accesoir
·
Mempunyai
sifat zaaksgevolg (droit desuite), yaitu hak hipotik senantiasa
mengikuti bendanya dalam tagihan tangan siapa pun benda tersebut berada
dalam pasal 1163 ayat 2KUH perdata .
·
Lebih
didahulukan pemenuhanya dari piutang yang lain (droit de preference)
berdasarkan pasal 1133-1134 ayat 2 KUH perdata.
·
Obyeknya
benda-benda tetap.
BAB 3
1.1 Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara individu-individu dalam masyarakat.Yang dimaksud dengan Hukum
perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di
Indonesia.Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara
sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian,
kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang
bersifat perdata lainnya.
Adapun
kriteria hukum perdata yang dikatakan nasional yaitu :
1. Berasal dari hukum perdata Indonesia
2. Berdasarkan sistem nilai budaya
3. Produk hukum pembentukan
Undang-undang Indonesia
4. Berlaku untuk semua warga negara
Indonesia
5. Berlaku untuk seluruh wilayah
Indonesia
1.2 Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini
berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa. Bermula di
benua Eropa berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya hukum tertilis dan
hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu
sebagai hukum asli di negara-negara di Eropa. Oleh karena itu keadaan hukum di
Eropa kacau balau, dimana setiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan
sendiri juga peraturan itu berbeda-beda.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu
kumpulan peraturan yang bernama Code
Civil de Francais yang juga dapat disebut Code Napoleon, karena Code Civil
des Francais ini merupakan sebagaian dari Code Napoleon. Sebagai petunjuk
penyusunan Code Civilini dipergunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara
lain Dumoulin, Domat dan Pothies. Disamping itu juga dipergunakan Hukum Bumi
Putra Lama, Hukum Jernonia dan Hukum Cononiek.
Mengenai peraturan hukum yang belum ada di jaman Romawi antara lain masalah
wessel, asuransi, dan badan-badan hukum, pada jaman Aufklarung (sekitar abad
pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan
nama Code de Commerce.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh Belanda (1809-1811), Raja Lodewijk
Napoleon menetapkan Wetboek
Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland (isinya mirip
dengan Code Civil ded Francais atau Code Napoleon) untuk dijadikan sumber Hukum
Perdata di Belanda (Netherland). Pada 1811, saat berakhirnya penjajahan dan
Netherland disatukan dengan Prancis, Code Civil des Francais atau Code Napoleon
tetap berlaku di Belanda.
Setalah beberapa tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Belanda mulai
memikirkan dan mengerjakan kodefikasi dari hukum perdatanya. Pada 5 Juli 1830,
kodefikasi ini selesai dengan terbentuknya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek Van Koophandle (WVK) yang
isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Frances dan Code de
Commerce.
Pada tahun 1948, kedua undang-undang produk Netherland ini diberlakukan di
Indonesia berdasarkan Azas Koncordantie (Azas Politik Hukum). Saat ini kita
mengenal Burgerlijk Wetboek (BW) dengan nama KUH Sipil (KUHP), sedangkan untuk
Wetboek Van Koophandle (WVK) kita mengenalnya dengan nama KUH Dagang.
1.3 Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
1.
Pengertian
Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat. Hukum Perdata
mempunyai arti yang luas, yakni meliputi semua Hukum Privat Materiil, dan dapat
dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana. Hukum Privat Materiil (Hukum Perdata
Materiil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan
antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang
yang bersangkutan. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan
sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungan terhadap orang lain di dalam
suatu masyarakat tertentu.Hukum Perdata Formiil yang lebih dikenal dengan HAP
(Hukum Acara Perdata) yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang
mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan
perdata.
2.
Keadaan
Hukum Perdata di Indonesia
Mengenai keadaan Hukum Perdata di Indonesia ini masih
bersifat majemuk (masih beraneka warna atau ragam). Penyebab keanekaragaman ini
ada 2 faktor yaitu :
1. Faktor
Ethnis yang disebabkan karena adanya
keanekaragaman Hukum Adat bangsa Indonesia (karena negara Indonesia terdiri
dari berbagai suku bangsa)
2. Faktor
Hostia Yuridis dapat
kita lihat pada pasal 163 I.S. dan pasal 131 I.S. Pada pasal 163 I.S. membagi
penduduk menjadi 3 golongan yaitu :
a.
Golongan
Eropa dan yang dipersamakan
b.
Golongan
Bumi Putera (pribumi) dan yang dipersamakan
c.
Golongan
Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab)
Sedangkan
pada pasal 131 I.S. mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing
golongan yang tersebut dalam 163 I.S. diatas. Adapun hukum yang diberlakukan
bagi masing-masing golongan yaitu :
§ Bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan, berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan
dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di Belanda berdasarkan Azas Konkordansi
§ Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia
Asli) dan yang dipersamakan, berlaku Hukum Adat mereka yaitu hukum yang sejak
dahulu kala berlaku di rakyat. Dimana sebagian besar dari Hukum Adat tersebut
belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
§ Bagi golongan Timur Asing (bangsa
Cina, India, Arab), berlaku hukum masing-masing dengan catatan bahwa golongan
Bumi Putera dan Timur Asing diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum
Eropa Barat, baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum
tertentu.
Untuk memahami keadaan Hukum Perdata di Indonesia, kita
harus mengetahui terlebih dahulu riwayat politik pemerintah Hindia Belanda
terhadap hukum di Indonesia. Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda
terhadap Hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131 I.S (Indische Staatregeling) yang
pokok-pokoknya sebagai berikut :
§ Hukum Perdata dan Dagang (begitu
pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus
diletakkan dalam Kitab Undang-Undang yaitu di Kodefikasi)
§ Untuk golongan bangsa Eropa harus
dianut perundang-undangan yang berlaku di Belanda (sesuai Azas Konkordansi)
§ Untuk golongan bangsa Indonesia Asli
dan Timur Asing, jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dapat berlaku bagi
mereka
§ Untuk orang Indonesia Asli dan orang
Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama
dengan bangsa Eropa maka diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku
untuk bangsa
Eropa.
Berdasarkan
pedoman diatas, pada jaman Hindia Belanda itu telah ada beberapa peraturan
Undang-Undang Eropa yang telah dinyatakan berlaku untuk bangsa Indonesia Asli,
seperti pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu tentang :
§ Perjanjian kerja perburuhan
(Staatsblat 1879 no 256)
§ Pasal 1788-1791 BW perihal
hutang-hutang dari perjudian (Straatsblad 1907 no 306)
§ Beberapa pasal dari WVK (KUHD) yaitu
sebagian besar dari Hukum Laut (Straatblad 1933 no 49)
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus
dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
§ Ordonansi Perkawinan Bangsa
Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no 74)
§ Organisasi tentang Maskapai Andil
Indonesia (IMA) (Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717)
Ada
pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
1. Undang-Undang Hak Pengarang
(Auteurswet tahun 1912)
2. Peraturan Umum tentang Koperasi
(Staatsblad 1933 no 108)
3. Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no
523)
4. Ordonansi tentang pengangkutan di
udara (Staatsblad 1938 n0 98)
1.4 Sistematika Hukum Perdata di
Indonesia
1.
Sistematika
hukum perdata dalam Burgenjik Wetboek (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPdt)
Sistematika
hukum perdata dalam Burgenjik Wetboek (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPdt) terdiri dari empat buku sebagai berikut :
§ Buku I yang berjudul “Perihal Orang”
‘van persoonen’ memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan
§ Buku II yang berjudul “Perihal
Benda” ‘van zaken’, memuat hukum benda dan hukum waris
§ Buku III yang berjudul “Perihal
Perikatan” ‘van verbinennisen’, memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
§ Buku IV yang berjudul Perihal
Pembuktian Dan Kadaluwarsa” ‘van bewjis en verjaring’, memuat perihal alat-alat
pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan
hukumSistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan
2.
Menurut
ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat bagian,
yaitu :
§ Hukum tentang orang atau hukum
perorangan (persoonrecht) yang antara lain mengatur tentang orang sebagai
subjek hukum dan orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak
sendiri untuk melaksanakan hak-haknya itu.
§ Hukum kekeluargaan atau hukum
keluarga (familierecht) yang memuat antara lain tentang perkawinan, perceraian
beserta hubungan hukum yang timbul didalamnya seperti hukum harta kekayaan
suami dan istri. Kemudian mengenai hubungan hukum antara orangtua dan
anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijik macht), perwalian (yongdij),
dan pengampunan (curatele).
§ Hukum kekayaan atau hukum harta
kekayaan (vernogenscrecht) yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang
dapat dinilai dengan uang. Hukum harta ini meliputi hak mutlak ialah hak-hak
yang berlaku terhadap setiap orang dan hak perorangan adalah hak-hak yang hanya
berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak tertentu saja.
§ Hukum waris (etfrecht) mengatur
tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur
akibat-akibat) hukum dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang
ditinggalkan seseorang.
BAB 4
1.1
PENGERTIAN
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis yang mempunyai arti
lebih luas dari perjanjian, sebab perikatan diatur juga perihal hubungan hukum
yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu
perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal
perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan.
Secara
umum perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu
dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi
tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau
kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak
berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa:
1.
menyerahkan suatu barang
2.
melakukan suatu perbuatan
3.
tidak melakukan suatu perbuatan
Di
bawah ini adalah pengertian perikatan menurut para ahli
Menurut
Hofmann :
Suatu
hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan
itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu
Menurut
Pitlo :
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi
Menurut
Subekti :
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu
1.2
DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
1. Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan
yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
:”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja
(uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit
wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena
undang-undang semata Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah
perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH
Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain
dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban
pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber
perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu
: kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar
(obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim.
Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber
perikatan.
b. Perikatan terjadi karena
undang-undang akibat perbuatan manusia
3.
Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
1.3
AZAS-AZAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas
dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·
Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
a. Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap
menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
c. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
d. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
1.4
WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun
bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
1.
Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi), ganti rugi sering diperinci meliputi
tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
b. Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor
c. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian, di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi
telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan
Risiko, Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi
suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan
menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
1.5
HAPUSNYA PERIKATAN
Pada
pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya
suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
1.
Pembayaran,
nama pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela.
Mengenai tempatnya pembayaran, pasal 1393 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menerangkan sebagai berikut :" Pembayaran harus dilakukan di tempat yang
ditetapkan dalam perjanjian, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu
tempat, maka pembayran yang mengenai suatu barang tertentu, harus
dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.
2.
Penawaran
Pembayaran Tunai Diikuti Penyimpanan atau Penitipan, pembayaran yang harus
dilakukan apabila si kreditur menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut :
barang atau uang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang
notaris atau seorang juru sita pengadilan.
3.
Pembaharuan
Hutang atau Novasi, novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya
sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
a. Novasi obyektif, dimana perikatan
yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
b. Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
c. Novasi subyektif aktif, diganti oleh
kreditur
4.
Perjumpaan
Hutang atau Kompensasi, Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan,
yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur
satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang
satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut
dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah
terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
5.
Percampuran
Hutang, apabila kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah
demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan.
6.
Pembebasan
Hutang, undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang.
Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu
kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan
utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk
terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang
pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi
dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur
merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.Dengan pembebasan utang maka perikatan
menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan,
maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang
yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
7.
Musnahnya
Barang Yang Terhutang, apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan
musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi
suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu
mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut
Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang
demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar
salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok
pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan
dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya
maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
8.
Pembatalan,
Pembatalan dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat
dibatalkan.Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan
undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan
jual beli atau hibah antara suami istri adalah batal demi hukum. Batal demi
hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap
tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta
dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut
adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada
putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan,
perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap
untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan
kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali
dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar
jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata
hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang
menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada
umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan
hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap
dirinya sendiri.Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi
perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini
disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu
sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan
semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat
batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru
dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau
berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang
bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan
pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya
syarat itu.
9.
Berlakunya
Suatu Syarat-Batal, Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang
nasibnya digantungkan pada peristiwa yang masih akan datang dan masih belum
tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga
terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi
atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
10.
Lewatnya
Waktu, Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat
untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.Dari
ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau
waktu, yaitu :
I.
Lampau
waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive
prescription”;
II.
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive
prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya
dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”.
Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa
lebih singkat dan praktis.
BAB
5
1.1 Standar
Kontrak
Standar kontrak adalah perjanjian
yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa
formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan
kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen
(Johannes Gunawan)
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
·
Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
·
Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Berdasar
ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang
terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :
1.
Adanya
kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri, Bahwa semua pihak
menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak
terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.
2.
Kecakapan
para pihak untuk membuat perjanjian, Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini
adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa
sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah
menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak
stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu
perjanjian tertentu.
3.
Ada
suatu hal tertentu, Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat
dilaksanakan oleh para pihak.
4.
Adanyasuatu
sebab yang halal, Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan
pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
·
tidakbertentangan
dengan ketertiban umum
·
tidak
bertentangan dengan kesusilaan
·
tidak
bertentangan dengan undang-undang
1.2 Macam-macam Perjanjian
Menurut
Mariam Darus Badrulzaman (Badrulzaman, Mariam Darus, Syahdeini, Sutan Remy,
Soepraptomo, Heru,Djamil, Faturrahman, Soenandar, Taryana. Kompilasi
HukumPerikatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.2001:66), sebagaimana dikutip
oleh Maris Feriyadi dalam tesisnya bahwa berdasarkan kriterianya terdapat
beberapa jenis perjanjian, antara lain:
a.
Perjanjian
Timbal Balik, Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak
b.
Perjanjian
Cuma – Cuma, Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang
dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri.
c.
Perjanjian
Atas Beban, Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi
dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
d.
Perjanjian
Bernama ( Benoemd ), Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai
nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan
diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak
terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUHPerdata.
e.
Perjanjian
Tidak Bernama ( Onbenoemde Overeenkomst ), Perjanjian tak bernama adalah
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di
dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang
disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya.
f.
Perjanjian
Obligatoir, Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara para pihak.
g.
Perjanjian
Kebendaan ( Zakelijk ), Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana
seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut
kepada pihak lain (levering, transfer).
h.
Perjanjian
Konsensual, Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah
pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut
KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).
i.
Perjanjian
Real Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi
tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
j.
Perjanjian
Liberatoir Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang
ada(Pasal 1438 KUHPerdata).
k.
Perjanjian
Pembuktian ( Bewijsovereenkomts ), Suatu perjanjian dimana para pihak
menentukan pembuktian apakah yangberlaku di antara mereka.
l.
Perjanjian
Untung – untungan Menurut Pasal 1774 KUHPerdat, Yang dimaksud dengan perjanjian
untunguntungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu
kejadianyang belum tentu.
m.
Perjanjian
Publik, Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan
atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang
sama(co-ordinated).
n.
Perjanjian
Campuran Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai
unsurperjanjian di dalamnya.
1.3 Syarat Sahnya Perjanjian
1. Adanya kesepakatan kedua belah
pihak.Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat
perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum.Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah
dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat,
menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi
wanita. Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi wanita. Acuan
hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3. Adanya Obyek.Sesuatu yang
diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang
cukup jelas.
4. Adanya kausa yang halal.Pasal 1335
KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau
dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan
hukum.
1.4 Saat Lahirnya Perjanjian
Ada
beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian
yaitu:
1.
Teori
Pernyataan (Uitings Theorie), Menurut teori ini, perjanjian telah ada/lahir
pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan
kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
2.
Teori
Pengiriman (Verzending Theori). Menurut teori ini saat pengiriman jawaban
akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat dipakai
sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.
3.
Teori
Pengetahuan (Vernemingstheorie). Menurut teori ini saat lahirnya perjanjian
adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
4.
Teori
penerimaan (Ontvangtheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah
pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau
dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada
alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
perjanjian.
1.5
Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
PembatalanPerjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
·
Adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu
yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
·
Pihak
pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau
secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
·
Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
·
Terlibat
hukum
·
Tidak
lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
BAB 6
1.1
Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum
Dagang
Hukum
Dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan
perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan
hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan
perdagangan .
Hukum
Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada
kepentingan perseorangan.
Hukum
perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum
khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum
tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat
lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang
bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang
Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus
diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang
disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Hubungan
antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti
karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi.
Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam
mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.
Hukum
Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang
meruapkan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex
Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat
mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga
dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak
mengaturnya secara khusus.
1.2 Berlakunya Hukum Dagang di
Indonesia
Sebelum
tahun 1938 hukum dagang hanya mengikat kepada parapedagang saja yang melakukan
perbuatandagang, tetapi sejak tahun 1938 pengertian dagang dirubah
menjadiperbuatan perusaan yang artinya lebih luas sehingga berlaku bagi setiap
pengusaha (perusahaan). Hukum dagang di Indonesia bersumber pada :
- Hukum
tertulis dikodifikasi
- KUHD
- KUHP
Perkembangan
hukum dagang sebenernya telah dimulai sejak abad eropa ( 1000/1500 ) yang
terjadi di Negara dan kota-kota di eropa, dan pada zaman itu di Italia dan
Prancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan, tetapi hukum
romawi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan
perdagangan maka dibuatlah hukum baru yang berdiri sendiri pada abad 16 &
17, yang disebut dengan hukum pedagang khususnya mengatur dalam dunia
perdagangan dan hukum ini bersifat Unifikasi. KUHD Indonesia diumumkan dengan
publikasi tanggal 30 April 1847, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848
KUHD Indonesia itu hanya turunan belaka dari “Wetboek Koophandel” dari Belanda
yang dibuat atas dasar asas korkondansi ( pasal 131. I.S ).
Pda
tahun 1906 kitab III KUHD Indonesia diganti dengan peraturan kepailitan yang
berdiri sendiri di luar KUHD. Sehingga sejak tahun 1906 Indonesia hanya
memiliki 2 kitab KUHD, yaitu kitab I & kitab I ( C.S.T. Kansil, 1985 : 14
). Karena asas konkordansi juga, maka 1 Mei 1948 di Indonesia berasal dari
KUHS. Adapun KUHS Indonesia berasal dari KUHS Netherland pada 31 Desember 1830.
1.3
Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha
(pemilik perusahaan) yang mengajak pihak lain untuk menjalankan usahanya secara
bersama-sama,atau perusahaan yang dijalankan dan dimiliki lebih dari satu
orang, dalam istilah bisnis disebut sebagai bentuk kerjasama. Bagi perusahaan
yang sudah besar, Memasarkan produknya biasanya dibantu oleh pihak lain, yang
disebut sebagai pembantu pengusaha. Secara umum pembantu pengusaha dapat
digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu:
- Pembantu-pembantu
pengusaha di dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja keliling,
pengurus fillial, pemegang prokurasi dan pimpinan perusahaan.
- Pembantu
pengusaha diluar perusahaan, misalnya agen perusahaan, pengacara, noratis,
makelar, komisioner.
1.4 Pengusaha dan Kewajibannya
Memberikan
ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya:
- Dilarang
memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali
ada ijin penyimpangan
- Tidak
boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
- Bagi
perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat
peraturan perusahaan
- Wajib
membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
- Wajib
memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai
masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
- Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek
CONTOH
KASUS & ANALISI
Kasus Prita Mulyasari
Prita Mulyasari, ibu dua anak, mendekam
di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Prita dijebloskan ke
penjara karena alasan pencemaran nama baik. Tali yang dipakai untuk menjerat
Prita adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Isinya “Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik“. Prita terancam hukuman
penjara maksimal enam tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Kasus ini bermula dari email Prita
yang mengeluhkan layanan unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus
2008. Email ke sebuah milis itu ternyata beredar ke milis dan forum lain.
Manajemen PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, lalu
merespons dengan mengirim jawaban atas keluhan Prita ke beberapa milis. Mereka
juga memasang iklan di koran. Tak cukup hanya merespon email, PT Sarana juga
menggugat Prita, secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama
baik.
Analisis Kasus Prita
UU ITE adalah Undang-Undang yang berlaku untuk semua
masyarakat Indonesia yang melakukan pelanggaran baik itu pemerintahan ataupun
masyarakat umum di dunia informasi teknologi dan elektronik.
UU ITE Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
UU ITE Bab 1 Pasal Ayat 2 menyebutkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau
media elektronik lainnya.
Dari bunyi UU ITE BAB 1 Pasal 1 Ayat 1 dan 2 diatas, dapat dipahami apa yang
dilakukan Prita tersebut merupakan sebuah prilaku informasi dan transaksi
elektronik. Namun, apakah benar perbuatannya itu merupakan sebuah pelanggaran
hukum?
Berdasarkan sumber informasi yang menyebutkan bahwa Prita melanggar aturan
hukum dan dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Adapun
bunyi pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sbb. :
(1)
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3)
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Dan adapun Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berbunyi “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Kronologis singkat kasus, Prita menulis surat elektronik
tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah
milis, namun surel tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah
sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke
media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana
dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi
yang dilakukan Prita hanyalah mengungkapkan kekecewaannya sebagai seorang konsumen
yang tidak puas akan pelayanan dari produsen, dimana hak konsumen untuk
menyampaikan keluhan, dan hak atas kenyamanan dalam pelayanan itu diakui UU No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Hak-hak Konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak untuk memilih barang dan/atau
jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dimana surel yang dimuat
Prita itu tidak bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Kalimat
dalam surel adalah kritik yang dilakukan Prita demi kepentingan umum. Tujuannya
agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek rumah sakit dan/atau dokter yang
tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang
mengharapkan sembuh dari sakit. Dengan demikian Prita terbukti tidak terbukti
melakukan tindakan pidana dan/atau perdata yang dijerat dengan pasal-pasal
tersebut.
SUMBER :
http://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/
http://yanhasiholan.wordpress.com/2012/05/08/hukum-perikatan-di-indonesia/
http://yanhasiholan.wordpress.com/2012/05/08/hukum-perikatan-di-indonesia/
Komentar
Posting Komentar